HEBOH
BERAS PLASTIK
(
TINJAUAN DARI HAK PERLINDUNGAN HAK ASASI RAKYAT)
Hasil uji laboratorium yang dilakukan
Sucofindo membuktikan kebenaran beras plastik, namun hal ini berbeda dengan
Penelitian Puslabfor Mabes Polri yang menyebut tidak ada bahan plastik pada
sampel beras yang sebelumnya disebut-sebut mengandung beras sintetis. Hal ini
akhirnya berbuntut dengan dipolisikannya Dewi Septiani, pelapor beras plastik.
Tindakan aparat ini disayangkan berbagai
pihak, salahsatunya disuarakan oleh Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia (PAHAM). PAHAM sebut jangan sampai temuan tersebut membuat pelapor
Dewi Septiani trauma, apalagi sampai merasa menerima intimidasi dari aparat.
“Bila hal ini terjadi, orang akan cenderung
abai dan tidak mau melapor apabila melihat sebuah kejahatan,” tegas Sekjend
Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (Paham), Rozaq Asyhari,
dalam siaran persnya (Kamis, 28/5). Dia mengungkapkan, apa yang dilakukan Ibu
Dewi adalah tindakan konsumen yang baik. Itu adalah upaya preventif untuk
menghindarkan masyarakat dari bahaya buruk bahan makanan yang diduga dari
platik. Oleh karenanya, langkah waspada yang demikian harus dicontoh oleh
anggota masyarakat lainnya.
“Bahwa yang dilakukan oleh Dewi Septiani
adalah early warning, yang seharunya merupakan kewajiban apparat terkait untuk
menindaklanjuti,” ungkapnya. PAHAM menyayangkan adanya dugaan intimidasi yang
dialami oleh Ibu Dewi. Karena yang dilakukan Ibu Dewi sudah sesuai dengan
ketentuan pasal 165 KUHP. Dimana ada kewajiban bagi setiap orang untuk
melaporkan kepada polisi jika mengetahui terjadinya suatu tindak kejahatan.
Walaupun dalam Pasal 165 KUHP tersebut hanya disebutkan beberapa pasal tindak
kejahatan.
“Namun secara umum, hal ini merupakan suatu
upaya untuk mencegah terjadinya suatu tindak kejahatan,” terang kandidat Doktor
dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini. Karena itu PAHAM mendorong agar
Kapolri memberikan penghargaan kepada Dewi Septiani dan memberikan sanksi
kepada oknum yang diduga mengintimidasi.
“Saya rasa layak Pak Badrodin Haiti
memberikan penghargaan kepada Bu Dewi. Karena sebagai warga negara yang baik
telah memberikan laporan sebagai bentuk kewaspadaan sesuai dengan ketentuan
pasal 165 KUHP. Hal ini untuk merangsang agar masyarakat peduli dengan
persoalan hukum yang ada di sekitarnya. Disisi lain, apabila memang terbukti
ada oknum aparat yang melakukan intimidasi selayaknya pula Kapolri berikan
teguran atau sanksi”, tegasnya.
BERAS PLASTIK MARAK BEREDAR DI
PASARAN
DPP PKB memberikan pernyataan sikapnya di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Minggu
(24/5/2015). Selain melihat dampak besar pada kesehatan konsumen, PKB mendapat
aduan dari Ketua Asosisasi Penggilingan Padi dan Pedagang Beras Indonesia
(Perpadi) Nellys Soekidi. Kami dapat laporan dari Ketua Asosiasi Pedagang
Beras, Pak Nellys, akibat kasus beras plastik ini dalam seminggu telah membuat
usaha pengusaha beras di pasar tradisional turun 30 persen, tentu ini juga
berdampak langsung kepada pendapatan petani,” ungkap Wasekjen PKB Daniel Johan.
PKB melihat bahwa kasus beras plastik ini cukup besar karena mayoritas
masyarakat di Indonesia mengkonsumsi nasi. Jika beras plastik beredar bebas di
pasaran maka menurut Daniel hal tersebut sangat berbahaya terhadap kesehatan
konsumen. Untuk itu, DPP PKB pun meminta kepada 4 Ketua Kelompok Komisi
(Kapoksi) Fraksi PKB untuk mendorong DPR segera membentuk Pansus Beras Plastik.
Dalam penyampaian sikap tersebut, selain Daniel yang merupakan Kapoksi IV
Fraksi PKB, hadir pula Ketua Fraksi PKB Helmy Faishal, Kapoksi VI Fraksi PKB
Neng Eem Marhamah, dan Kapoksi III Fraksi PKB Rohani.
“Kasus ini tidak berdiri sendiri, saling
berkaitan, saling berhubungan satu sama lain. Jadi perlu penanganan yang
komprehensif. Pansus adalah cara yang sangat tepat dan bisa memberikan
rekomdasi yang harus dijalankan pemerintah,” kata Daniel.
Pansus ini disebut Daniel juga karena banyak pihak yang terlibat dalam
penanganan kasus beras plastik. Seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian
Pertanian, Kepolisian, dan Kementerian Kesehatan. Kasus beras plastik ini
banyak kejanggalan, karena sampai saat ini meski Mentan dan Mendag sudah
melakukan sidak, belum ada satupun pihak yang menemukan dan melihat langsung
beras plastik seperti apa wujudnya,” tutur Daniel.
Secara ekonomi juga sangat
tidak mungkin karena biaya dari plastik lebih mahal dari beras murni. Sehingga
selain faktor ekonomi, kasus beras ini juga bisa sebagai wujud sabotase, entah
terhadap pemerintah atau apa,” sambungnya. Dari sisi regulasi, kata Daniel, kasus
beras plastik setidaknya melanggar 2 Undang-undang. Yakni UU No 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan dengan
sanksi yang cukup berat apabila ada penjual bahan makanan yang membahayakan
kesehatan konsumen.
Meski begitu, Daniel
mengimbau agar masyarakat tetap tenang dan tidak resah. Selain itu PKB juga
berharap agar pemerintah segera mengungkap kasus beras plastik ini. Kami imbau
agar masyarakat tetap tenang dan jangan resah. Kepada pemerintah agar sesegara
mungkin mengungkap dan menjelaskan hal ini sejelas-jelasnya kepada masyarakat
sehingga tidak terjadi kerawanan sosial, terutama sebentar lagi kita akan
memasuki bulan puasa,” tutup Daniel.
sumber : detik.com
DASAR HUKUM
UNDANG-UNDANG No. 8
Tahun 1999 :
a. bahwa pembangunan
nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang
merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945
b. bahwa pembangunan perekonomian
nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha
sehingga mampu menghasilkan beraneka ragam barang dan/atau jasa yang memiliki
kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan
sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari
perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen
c. bahwa semakin terbukanya pasar
nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin
peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan
keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar.
d. bahwa untuk meningkatkan harkat dan
martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh
kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
e. bahwa ketentuan hukum yang
melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai.
f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di
atas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan
kesimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga
tercipta perekonomian yang sehat.
g. bahwa untuk itu perlu dibentuk
Undang-udang tentang Perlindungan Konsumen
UNDANG-UNDANG No. 18 Tahun 2012 :
a. bahwa
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
b. Bahwa
negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan
konsumsi Pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada
tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan
sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.
c. Bahwa
sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dan di sisi lain memiliki
sumber daya alam dan sumber Pangan yang beragam, Indonesia mampu memenuhi
kebutuhan Pangannya secara berdaulat dan mandiri.
d. Bahwa
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan sudah tidak sesuai lagi dengan
dinamika perkembangan kondisi eksternal dan internal, demokratisasi, desentralisasi,
globalisasi, penegakan hukum, dan beberapa peraturan perundang-undangan lain
yang dihasilkan kemudian sehingga perlu diganti
e. Bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pangan.
Tiga Bahaya
Laman Republika.co.id (21/5) melansir
Tjandra Yoga Aditama, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Balitbangkes), Kemenkes Indonesia Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia
menyatakan ada 3 (tiga) kemungkinan bahaya jika mengonsumsi beras plastik
Pertama, trauma akibat fisik komponen
plastik ke saluran cerna walaupun tentu berkurang kalau sudah jadi lembut. Kedua, dampak lokal akibat bahan kimia atau mungkin kontaminan apa yang ada
dalam plastik yang dipakai. Meskipun ini akan tergantung jenis plastiknya. Ketiga, kemungkinan kalau bahan dalam plastik itu lalu terserap masuk pembuluh
darah melalui mukosa saluran cerna, lalu menyebar ke seluruh tubuh.
Menurut informasi yang dilansir media,
pada tahun 2012 lalu dan tahun-tahun setelahnya Indonesia pernah impor beras
sekitar 496,6 ton dari China dengan nilai 1,8 juta dollar. Ekses mengonsumsi
beras plastik seperti kata salah seorang pejabat Restoran China Association
yaitu; makan tiga mangkuk nasi palsu ini sama saja dengan makan satu kantong
plastik. Menurutnya, pihaknya akan melakukan penyelidikan terkait pabrik yang
memproduksi beras palsu itu. Peredaran beras plastik itu adalah terkonfirmasi
kebenarannya dari pejabat resmi pemerintah (Badan POM). Tentu pemerintah harus
memberi sanksi berat kepada pemasok, distributor dan pedagang yang
memperniagakan beras itu.
Pemerintah harus segera bertindak
untuk memastikan tidak ada lagi peredaran beras plastik itu. Membiarkan isu
beras plastik tanpa tindakan yang cepat merugikan dan meresahkan semua pihak. Selain
rutin melakukan pengawasan dan pembinaan, pemerintah terus melakukan advokasi
atau menertibkan terhadap berbagai praktik bisnis yang cenderung mengabaikan
hak-hak konsumen. Di lain pihak, pemerintah perlu bertindak tegas sesuai dengan
peraturan yang berlaku sehingga kepentingan dan hak konsumen terjamin.
Laman Viva.co.id (20/5) melansir bahwa
beras plastik tidak hanya melanda Indonesia, tetapi juga Vietnam, Malaysia,
Singapura, dan India. Di Vietnam, Kementerian Kesehatan menyarankan masyarakat
untuk melaporkan adanya beras plastik, agar secepatnya diverifikasi. Viva.co.id
(20/5) menulis kabar beras plastik melanda Indonesia dan Vietnam setelah The
Strait Times -media terbitan Singapura– melaporkan beras terbuat dari kentang,
ubi jalar, dan resin sinteik menjadi bentuk beras nyata, telah dikirim ke
Indonesia, India, dan Vietnam.
Untuk mengantisipasi peredaran beras
plastik itu, Lembaga Keamanan Pangan Kementerian Kesehatan Vietnam mengatakan
telah membentuk kerjasama dengan Departemen Pertanian dan Pembangunan Pedesaan
untuk memverifikasi peredaran beras plastik. Pihak berwenang Malaysia dan
Singapura juga telah menyelidiki isu beras plastik, dengan memeriksa ke
pasar-pasar. Malaysia misalnya, dilansir dari laman MStar, beras plastik ini
diduga beredar di Malaysia melalui media sosial.
Jika terbukti beras plastik telah
beredar, bagi importir, distributor dan pengecer beras plastik tersebut dapat
dikenakan sanksi seperti, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 140 yang
menyebutkan: “setiap orang yang memproduksi dan memperdagangkan pangan yang
dengan sengaja tidak memenuhi standar keamanan pangan sebagaimana dimaksud Pasal
86 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling
banyak Rp4 Miliar”.
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 62 menyebutkan
bahwa jika pelaku usaha melanggar hak-hak konsumen, terutama atas jaminan hak
keamanan pangan, maka pelaku usaha dapat dikenakan pidana penjara selama 5
tahun dan denda paling banyak Rp2 miliar. Seperangkat aturan itu bertujuan
untuk melindungi kepentingan nasional. Hak konsumen harus ditegakkan agar
kedaulatan pangan tidak sekadar basa-basi belaka.
Penegakan hukum mesti dilakukan secara
lebih intensif. Meminimalkan produk barang yang tidak layak konsumsi adalah
keniscayaan. Tindakan hukum perlu dilakukan, selain untuk perlindungan
konsumen, juga untuk pengamanan pasar dalam negeri. Sekaligus pula mendukung
terciptanya kepastian hukum dan jaminan berusaha di Indonesia.
Kasus beras plastik menunjukkan betapa
masih rendahnya tanggung jawab pelaku usaha, lumpuhnya proteksi hukum dan
minimnya regulasi keberpihakan kepada konsumen. Sekali lagi konsumen
dipecundangi, dan terus menempatkan konsumen sebagai korban.