SANKSI FIFA
( TINJAUAN DARI HAK PEMAIN DAN
PENONTON SEPAK BOLA )
Pengaruh Pembekuan PSSI terhadap
Psikologi Pemain
Psikologi
pemain sepertinya sekarang ini menjadi sangat terganggu, tidak hanya itu saja,
para pelatih pun menjadi tidak nyaman dengan adalah pembekuan PSSI. Hal ini
telah dinyatakan oleh Suharno, pelatih Arema Cronus. Beliau juga menyatakan
bahwa keputusan menteri pemuda dan olahraga (Menpora), yaitu Imam Nahrawi
tentang membekukan PSSI tersebut ikut andil memberikan dampak yang buruk bagi
para klub dan psikologi pemain.
Meskipun
dengan adanya pembekuan tersebut sehingga seluruh pertandingan Indonesia Super
League(ISL) 2015, baik itu Divisi Utama, Divisi I, II, dan III tetap berjalan
sebagaimana mestinya sesuai dengan supervisi KONI dan KOI bersama Asprov PSSI
dan Klub setempat. Namun satu hal yang dinyatakan oleh Kemenpora tersebut
sepertinya tidak membuahkan hasil yang bagus untuk para pemain.
Karena
jika dilhat secara mental, tentu saja hal ini sangat tidak nyaman sekali.
Melihat dengan kondisi yang semakin memanas tersebut, otomatis kalau pun
kompetisi tetap bisa dijalankan sebagaimana mestinya, namun jika ada pembekuan,
pelatih Arema Cronus, Suharno tetap menyatakan bahwa beliau tetap tidak yakin
bahwa pertandingan atau kompetisi tesebut bisa berjalan dengan nyaman.
Karena
dengan adanya sanksi tersebut, tentu saja para pelatih hanya bisa menunggu
reaksi dari PSSI. Karena beliau tidak bisa berkomentar banyak. Kalaupun bisa
berkomentar, hal tersebut hanya akan membuat suasana menjadi panas. Untuk
itulah para pelatih hanya bisa menunggu hingga pihak yang berwenang memberikan
keputusan yang tepat.
Yang
pasti, tim Arema Cronus akan tetap dipersiapkan dengan matang, meskipun mereka
dihadang dengan berbagai pikiran konflik yang masih ada, dan sulit dihilangkan
dari benak pemain. Entah itu dengan cara memberikan motivasi dan berbagai
latihan meskipun situasi sedang tidak menentu, namun tim pelatih akan tetap
berjuang untuk memajukan Arema Cronus.
Karena
jika baik itu tim ataupun pelatih bisa saling menguatkan, begitu juga dengan
adanya dukungan dari suporter yang besar kepada tim, para pelatih dan tim yakin
bahwa suatu hari nanti mereka akan berhasil sukses melewati situasi konflik
tesebut. Meskipun sekarang ini adalah masa sulit yang tidak hanya diterima oleh
Arema saja, karena masalah ini juga oleh tim lain, namun dengan rasa
kebersamaan itulah kami pikir semua masalah bisa teratasi.
Lagian,
sementara jadwal uji coba sedang disusun, maka inilah saatnya tim pelatih Arema
untuk mengkaji lagi beberapa yang harus diperbaiki. Karena masih ada banyak
pemain Arema yang cidera, setelah Kurnia Meiga, Utam Rusdiana, Benny Wahyudi,
dan Purwaka Yudi.
SANKSI FIFA: Cerita Mengenaskan Bung
Towel
Kegaduhan sepakbola
Tanah Air meninggalkan cerita mengenaskan di kalangan industri mulai dari
pemain, pelatih, perangkat pertandingan hingga generasi muda yang impiannya
hancur lantaran gagal bertanding.
Direktur Kompetisi PSSI
Tommy Welly menceritakan bahwa gelombang keempat kursus kepelatihan berlisensi
C AFC diglar pada 1 Juni 2015 di Sawangan selama 13 hari. Pada waktu itu
sebanyak 21 pelatih berasal dari seluruh Indonesia sudah hadir di lokasi.
Sehari menjelang
dimulai kursus, 30 Mei 2015 FIFA melayangkan sanksi kepada PSSI bahwa hak-hak
anggota dicabut karena pemerintah melakukan intervensi dengan pembekuan
organisasi sepakbola itu. Alhasil kusrus kepelatihan terpaksa ditutup karena
tidak bisa melaksanakan.
"Sudah pada datang
pelatih dari seluruh Indonesia jumlahnya 21 orang tapi tanggal 1 Juni dibuka,
PSSI terpaksa di-closing karena tidak bisa melaksanakan ini, efek terhadap
sanksi FIFA," kata pria yang akrab disapa bung Towel ini seusai diskusi di
Cikini Jakarta, Sabtu (6/6/2015).
PSSI tahun ini punya
delapan gelombang kursus kepelatihan lisensi C AFC, dua kali kursus lisensi B
AFC dan satu kali kursus lisensi A AFC. Adapun kursus lisensi C AFC sudah
dilaksanakan sebanyak tiga kali.
Selain itu program Tim
Nasional Indonesia banyak yang berantakan. Timnas Senior tidak bisa ikut
kualifikasi Piala Dunia dan kualifikasi Piala Asia. Begitu juga dengan Timnas
U-16 dan Timnas U-19 tidak bisa ikut dalam ajang internasional.
Towel bercerita sejak
pertengahan tahun 2014 pelatih Fachri Huzaini mengasuh kelompok U-19 dan U-19
dengan harapan bisa bertanding tahun ini. Pemain bola usia antara 14-18 tahun
sudah masuk pelatnas di Sawangan, masuk dua bulan dan kelua dua minggu balik
lagi.
"Tujuannya
Juli-Agustus mereka main di Solo, yang U-16 main Agustus September di Sidoarjo
pertandingan sebagai tuan rumah. Karena sanksi kita tidak bisa main,"
ujarnya.
Impian sejak masuk
Pelatnas, pemain muda bermain mengenakan kostum garuda. Tapi apa daya satu
bulan menjelang pertandingan mimpinya dirampas. Sanksi FIFA menggagalkan
semuanya.
"Mereka pulang
beresin barang-barangnya dari pelatnas Sawangan, masukin ke tas lalu pulang ke
rumahnya, kecuali kalian tega, kalian sadis kalau lihat itu kalian tega,"
ujar Towel.
Dengan sanksi ini pula,
biaya yang terbuang untuk skala internasional pun sia-sia. Towel berharap
kegaduhan ini segera brakhir. Kuncinya, PSSI sangat berharap pemerintah lewat
Menpora mencabut surat pembekuan itu karena hanya itu syaratnya.
"Sejak peringatan
FIFA tanggal 4 Mei cuma itu, pemerintah Indonesia tolong cabut deadline nya
tanggal 29 berbarengan kongres kami, cabut pembekuan itu karena itu intervensi.
Kalau sekarang pemerintah lewat menpora masih memberdayakan tim transisi
artinya tidak ada itikad baik karena tim transisi yang dibentuk menpora produk
daru SK pembekuan itu," tutur Towel.
“MENUJU PENTAS DUNIA”, itulah slogan yang
didengungkan ketika pertama kali kompetisi Liga Indonesia pertama kali digelar.
Kompetisi yang merupakan penggabungan (paksa) dua kompetisi yaitu kompetisi
perserikatan (amatir) dan GALATAMA (semi profesional), sedari awal memang
digadang gadang bukan hanya akan mengangkat prestasi sepakbola Indonesia,
melainkan juga merupakan bentuk kompetisi sepakbola yang akan bergerak menuju
ke arah profesional seperti yang waktu itu bergulir di negara negara elit
sepakbola.
Namun lain slogan lain tujuan lain pula
realisasinya. Dalam perjalanan dan perkembangannya, kompetisi Liga Indonesia
yang sempat beberapa kali berganti “judul” sesuai sponsor utama yang menangani,
jauh dari harapan yang dicanangkan semula. Kompetisi yang semula diharapkan
bisa mendongkrak prestasi baik secara klub peserta maupun Tim Nasional berjalan
dengan banyak aspek yang dipaksakan.
Dari sisi klub, banyak klub yang masih saja
mengandalkan anggaran pemerintah daerah (APBD) sebagai nafas klub. Kualitas
wasit pun jauh dari harapan, sampai pernah terkuak skandal wasit yang sangat
memalukan. Pengelola kompetisi maupun pengurus klub seringkali justru bukanlah
orang yang ahli di bidangnya, terbukti dari banyaknya “pemilik” klub yang
merupakan kepala daerah klub bersangkutan.
Prestasi..??????? SANGAT MEMPRIHATINKAN. Dari segi
klub, juara Liga Indonesia hampir pasti selalu jadi bulan bulanan ketika
berkompetisi di tingkat asia, terlebih jika bertemu klub klub dari asia timur
maupun asia barat.Di level Timnas pun, prestasinya juga jauh dari harapan. Di
level ASEAN Timnas Indonesia hanya mampu 4 kali runner up piala AFF dan 3 kali
runner up Sea Games tanpa satupun gelar juara.
Dari sini jelas terlihat, bahwa kompetisi Liga
Indonesia disetting bukan untuk profesionalisme maupun prestasi, melainkan
hanya sekedar untuk hiburan dan hura hura di stadion. Karena dari sisi animo
publik, sepakbola Indonesia bisa dibilang ada di jajaran atas. Selain jumlah
penduduk yang memang besar, minat publik untuk menonton pertandingan
sepakbola memamng lumayan besar. Hampir tiap klub punya basis suporter dalam
jumlah besar. Seorang Tommy Welly yang merupakan komentator ternama bahkan
pernah dengan pede-nya menyatakan bahwa liga Indonesia adalah Liga Inggrisnya
asia,, dilihat dari animo publik terhadap perhelatan ini.
Sayangnya,, modal besar berupa animo publik yang
secara langsung adalah market yang menggiurkan tidak dimanfaatkan dengan baik.
Berbagai upaya telah dilakukan salah satunya dengan merombak kompetisi sekaligus
nama menjadi Indonesia Super League. Penggunaan nama ISL diharapkan akan lebih
menjual, dan juga akan menerapkan aturan dan seleksi yang lebih ketat, sesuai
standar yang ditetapkan AFC/FIFA mengenai persyaratan klub sepakbola
profesional meliputi 5 aspek yaitu support (pembinaan usia dini), infrastuktur
(fasilitas stadion, tempat latihan), legal (mengnai hukum seperti legalitas),
finance (kekuatan keuangan klub) dan persone (management) agar kompetisi bisa
berjalan secara BERSIH, SEHAT dan BERKUALITAS.
Namun sekali lagi, program yang semestinya baik
ternyata tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Banyak kriteria yang
sebenarnya mutlak dimiliki oleh klub peserta ternyata tidak dapat dipenuhi dan
tetap diberi toleransi dengan berbagai pertimbangan, terutama mengenai
finansial dan infrastruktur.
Tak heran, ditengah hiruk pikuk kompetisi yang
selalu ramai penonton, disiarkan di televisi hampir tiap hari, kisah kisah
miris mengenai pemain terlambat menerima gaji, pemain TIDAK menerima gaji,
pemain hidup seadanya di mess, bahkan sampai ada pemain yang meninggal dan baru
diberi haknya pernah terjadi selama perhelatan kompetisi sepakbola Indonesia.
Hal ini diperparah dengan sikap apatis kebanyakan suporter dimana banyak dari mereka yang hanya tahu nonton di televisi maupun stadion, bersorak, bernyanyi mendukung klub kebanggaanya.Dan bagi pengelola liga sendiri, ketika pertandingan masih diminati penonton maupun suporter, mereka pun akan tetap enjoy dengan keadaan ini dan me”lupa”kan tujuan awal kompetisi, yaitu prestasi dan profesionalitas untuk MENUJU PENTAS DUNIA.
Hal ini diperparah dengan sikap apatis kebanyakan suporter dimana banyak dari mereka yang hanya tahu nonton di televisi maupun stadion, bersorak, bernyanyi mendukung klub kebanggaanya.Dan bagi pengelola liga sendiri, ketika pertandingan masih diminati penonton maupun suporter, mereka pun akan tetap enjoy dengan keadaan ini dan me”lupa”kan tujuan awal kompetisi, yaitu prestasi dan profesionalitas untuk MENUJU PENTAS DUNIA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar